Menurut Wikipedia Bahasa merupakan kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks. Di dunia ini banyak sekali dikenal macam-macam bahasa. Ada bahasa Inggris, Arab, Jawa, Indonesia, Batak, Sunda, Madura dll.
Bahasa Madura adalah bahasa daerah yang digunakan oleh warga etnik Madura, baik yang tinggal di pulau Madura maupun di luar pulau Madura, yang selalu digunakan sebagai sarana komunikasi sehari-hari oleh penuturnya. Tradisi sastra, baik lisan maupun tertulis dengan sarana bahasa Madura yang masih hidup dan dipelihara oleh masyarakat Madura akan membawa semangat untuk melestarikan budaya Madura. Oleh karena itu jumlah penutur yang banyak dan didukung oleh tradisi sastranya, bahasa Madura mengandung hal-hal yang unik khususnya dalam hal keragaman pengucapan.
Penggunaan bahasa Madura dalam setiap daerah yang ada di Madura tidak sama hal ini telah tampak pada variasi dialektik, variasi tingkat tutur.
Pada variasi dialektik yakni dialek Sumenep, dialek Pamekasan, dan dialek Bangkalan. Masyarakat Sumenep menggunakan bahasa Madura dengan menggunakan dialek Sumenep yang menggunakan ritme memanjang dan tidak menyingkat fonem, misalnya dalam mengucapkan kata “saronen” Hal ini berbeda dengan masyarakat Pamekasan dan Sampang yang mengucapkan kata “sronen” dengan menggunakan ritme agak cepat dan merangkap salah satu fonem atau menghilangkan salah satu fonem vokal yang berada di posisi awal. Berbeda juga dengan dialek Bangkalan. Yang memang cara pengucapannya lebih cepat ritme yang digunakan dibandingkan dengan dialek Pamekasan. Contoh pada kata lo’cèlo’ “tidak kecut” (dialek Bangkalan) dan ta’ cèlo’ “ tidak kecut” (dialek Pamekasan dan Sampang). Persepsi kata “ lo’ cèlo’ “ menurut masyarakat Pamekasan dan Sampang, sesuatu yang nilai rasanya kecut, tetapi menurut masyarakat Bangkalan, kata tersebut bermakna tidak kecut.
Selain itu Perbedaan juga ada pada variasi tingkat tutur. Dalam bahasa Madura yang sudah umum terdapat tiga tingkatan, yakni tingkat tutur Enjha’ Iya (jenis tingkat tuturan sama dengan ngoko dalam bahasa Jawa, tingkat tutur Èngghi Enten ( jenis tingkat tuturan sama dengan krama adya dalam bahasa Jawa, sedangkan yang terakhir tingkatan Èngghi Bhunten ( jenis tingkat tuturan sama dengan kromo inggil dalam bahasa Jawa. Pada variasi ini meskipun tingkatannya sama namun ada banyak orang yang tidak memahami paribasan yang ucapkan oleh orang sumenep karena kata-kata mereka cendrung lebih halus dari pada daerah yang lain.
Perlu diketahui dalam bahasa Madura terdapat enam vokal, yakni [ a, I u, e, è, o ] dan terdapat 11 bunyi vokoid, yakni [ a, â, i, I, u, U, ε, è, ∂, o, ﺩ ]. Biasanya fonem vokal [I] bervarian dengan fonem vokal [ i ], fonem vokal [ a ] bervarian dengan fonem vokal [∂] dan fonem vokal [U] merupakan varian dari fonem [u] Misalnya pada kata ” seppor dan ” seppUr”yang bermakna “kereta api”. Telah nampak bahwa masyarakat pedesaan sering menggunakan kata “seppŨr”. Sedangkan masyarakat perkotaan sering mengucapkan dengan kata seppor, yang artinya sama-sama “kereta api”. Dari beberapa varian fonem yang ada dalam bahasa Madura. Maka dapat di sintesiskan bahwa Perbedaan pengucapan tersebut dipengaruhi oleh faktor geografis, usia, dan pendidikan. Akan tetapi hal ini tidak menyebabkan perubahan makna kata pada setiap penyucapan. Oleh karena itu, dari beberapa perbedaan bahasa Madura itu dapat dijadikan keragaman kebahasaan dalam bidang pramasastra bahasa Madura yang lebih baku.
Sehingga kita sebagai masyarakat Madura harus tetap merawat, menjaga, dan melestarikan bahasa Madura melalui pembiasaan terhadap generasi penerus bangsa, tidak perlu minder dalam berkomunikasi dalam bahasa Madura, karena menurut salah satu teman saya yang bukan orang Madura menyatakan “Belajar bahasa Madura lebih sulit dari pada belajar bahasa Inggris”.