Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata “nasi tumpeng”?, Pasti langsung terbayangkan suguhan nasi berbentuk kerucut yang dikelilingi dengan beragam lauk pauk dan sayur urap yang membuat lidah bergoyang.
“Nasi Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut yang dikelilingi dengan aneka lauk pauk dan ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu) serta dialasi dengan daun pisang. Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara atau selametan, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.”
Sebenarnya banyak makna yang tersirat dalam penyajian nasi tumpeng, tapi biasanya kalau lagi acara tumpengan banyak yang tidak memperdulikan bahkan emang tidak mengerti sama sekali makna dari nasi kerucut ini, termasuk aku, tapi beberapa bulan kemarin sempat mendengarkan pembahasan tentang filosofi nasi tumpeng ini jadi sekarang aku sudah sedikit tahu.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80
Nasi putih
Berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal.
Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”.
Ayam
ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
Ikan Teri / Gereh Pethek
Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.
Ikan Bandeng
Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
Telur
Telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong, sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Filsafat jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Sayuran dan Urab-uraban/Krawu
Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung simbol-simbol antara lain:
- Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang.
- Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam.
Hm… Itulah Filosofi tentang tumpeng jadi kalo ada acara tumpengan sekarang udah ngerti maksud dan tujuannya. Bahkan bersamaan dengan aku mendengar bahasan tentang tumpeng ini aku juga mendapatkan sesanti jawi yang rasanya tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul).